Omnibus Law dan Green Constitution di Indonesia

Green Constitution di Indonesia

Modrrnis.co, Malang – Pengesahan Rancangan Undang-undang cipta kerja (RUU cipta kerja) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) sampai saat ini masih mendapatkan perlawanan dari berbagai macam dimensi masyarakat. Mulai dari buruh, mahasiswa, pelajar, pakar hukum dan sebagainya.

Perlawanan yang dilakukan mulai dengan aksi demonstrasi sampai dengan tulisan-tulisan yang dimuat di media massa. Sehingga pada kesempatan kali ini penulis juga ingin berbagi tulisan yang kiranya menolak Undang-undang Cipta Kerja dengan mengkaitkan nya dengan green constitution dalam Konstitusi Indonesia.

Sebagaimana Prof, Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Green constitution menyatakan bahwa Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945) merupakan salah satu Konstitusi yang menganut nilai dari Konstitusi hijau (green constitution) dari berbagai negara lainnya. Konstitusi hijau adalah Konstitusi yang didalamnya mengurai tentang pentingnya lingkungan hidup. Karena lingkungan hidup merupakan bagian vital bagi kehidupan manusia. Oleh karenanya, sudah selayaknya dan menjadi keharusan manusia untuk menjaga dan melestarikannya.

Dalam UUD NRI 1945 nilai konstitusi hijau setidaknya tertuang dalam hak asasi manusia pada pasal 28H ayat satu (1) bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pun, terdapat dalam demokrasi ekonomi pada pasal 33 ayat empat (4) bahwa “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisen-berkeadilan, berkelanjutan berwawasan lingkungan, kemandiriam, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Jika dibaca dan dipahami UU cipta kerja mengubah, menghapus dan menetapkan aturan baru tentang perizinan berusaha yang diatur dalam undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (UU PPLH). penghapusan dan perubahan dari pasal-pasal UU PPLH yang terdapat didalam UU cipta kerja sangat kontroversi dan tidak sejalan dengan nilai dari konstitusi hijau dalam UUD NRI 1945.

Mulai dari pengubahan izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan. Dimana persetujuan lingkungan itu dipegang langsung oleh pemerintah pusat. Berbeda dengan izin lingkugan yang ada dalam UU PPLH yang dibuat oleh menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Adapun, secara alur persetujuan lingkungan juga mengesampingkan organisasi lingkungan hidup, pakar di bidang pengembangan terkait dengan dampak dan pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha untuk andil dalam menilai amdal dari usaha tersebut.

Dengan demikian pengubahan izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan dalam omnibus law dikuasai dengan tunggal oleh pemerintah pusat. Dan kekuasaan ini sengatlah rentan untuk disalahgunakan. Sebagaimana Lord Acton mengatakan, “Power tends to corrupt, Absolute power currupts absolutely” yang berarti bahwa kekuasaan itu cendrung korup, dan kekuasaan mutlak seratus persen korup.

Terlebih terkait pembuatan dokumen amdal yang tidak melibatkan pemerhati lingkungan yang sebelumnya dilibatkan. Padahal kehadiran pemerhati lingkungan yang dalam hal ini sebagai perwakilan dari masyarakat terdampak sangat diperlukan. Apalagi dalam melihat sejauh mana usaha tersebut tidak merugikan masyarakat dan merusak lingkungan secara membabi-buta. Sehingga demokrasi ekonomi yang berwawasan lingkungan sebagaimana tercantum diatas dapat terealisasikan.

Sebagaimana juga pada pasal 28H ayat satu (1) UUD NRI 1945 secara sederhana menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Oleh karenanya, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan Hak Asasi Manusia yang harus dipenuhi oleh negara terhadap rakyatnya. Sehingga segala kebijakan Pemerintah harus menyelamatkan hak-hak asasi rakyatnya. Karena jika rakyat tidak mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat keselamatannya pasti akan terancam. Sebagaimana asas hukum Salus Populi Supreme Lex Esto (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi).

Akhirnya, UUD NRI 1945 merupakan norma hukum tertinggi dalam hirarkinya di Indonesia. Sehingga semua norma hukum yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengannya. Sama halnya dengan UU cipta kerja yang harus berdasar pada UUD NRI 1945. Apalagi terkait dengan Nuansa Hijaunya. Yaitu demokrasi ekonomi yang berkelanjutan berwawasan lingkungan serta hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat.

Oleh: Taufik Hidayat (Aktivis IMM Tamaddun FAI UMM)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment